Selasa, 04 Mei 2010

Rahasia Marty

Saya tumbuh dalam keyakinan bahwa Natal adalah saat ketika hal-hal
yang aneh dan menyenangkan terjadi. Orang-orang bijak datang sambil
membawa persembahan yang banyak, binatang-binatang dalam kandang
berbincang-bincang pada tengah malam, dan bintang Tuhan yang
megah memancar kepada kita bagaikan seorang bayi. Bagi saya, Natal
merupakan momen yang penuh pesona. Hal itu pulalah yang saya rasakan
ketika anak saya, Marty, berusia 8 tahun.

Pada saat itu, saya dan anak-anak pindah ke sebuah trailer (rumah
mobil) pada sebuah hutan di luar Redmond, Washington. Liburan
semakin dekat dan semangat kami begitu menggebu-gebu. Tidak ada
sesuatu yang dapat mengganggu suasana hati kami, sekalipun hujan
pada musim dingin menyiram rumah kami dan membuat lantai menjadi
berlumpur.

Selama bulan Desember tersebut, Marty adalah anak yang paling
bersemangat dan sibuk dalam keluarga kami. Ia adalah anak bungsu,
seorang anak laki-laki yang periang, berambut pirang, dan senang
bermain. Ia memiliki kebiasaan memandang orang yang sedang berbicara
kepadanya sambil memiringkan kepalanya sedikit. Alasannya adalah
telinga kiri Marty tuli. Tetapi, ia tidak pernah bersungut-sungut
karena kekurangannya tersebut. Selama beberapa minggu, saya
memerhatikan Marty. Saya tahu bahwa ada sesuatu yang ia sembunyikan.
Saya tahu betapa giatnya ia merapikan tempat tidur, membuang sampah,
dengan teliti menyiapkan meja makan, serta membantu Rick dan Pam
menyiapkan makan malam sebelum saya pulang dari kerja. Saya melihat
bagaimana ia secara diam-diam menyisihkan uang sakunya dan
menyimpannya, tidak menggunakan 1 sen pun. Saya tidak tahu apa
sebenarnya yang sedang ia rencanakan, tetapi saya rasa hal itu ada
hubungannya dengan Kenny.

Kenny adalah teman Marty. Sejak mereka berkenalan pada musim semi,
mereka tak terpisahkan. Jika Anda menemukan Kenny, Anda akan
menemukan Marty, dan begitu pula sebaliknya. Dunia mereka berada di
padang rumput yang dibelah oleh sungai kecil. Di tempat itu, mereka
dapat menangkap kodok dan ular, mencari mata anak panah atau harta
terpendam, atau menghabiskan sepanjang siang untuk memberikan kacang
kepada bajing. Keluarga kami berada dalam masa-masa sulit, sehingga
kami harus berhemat. Syukurlah, saya masih memiliki pekerjaan sebagai
pembungkus daging dan juga keuletan, sehingga segala kebutuhan kami
masih tercukupi. Tetapi, tidak demikian halnya dengan keluarga
Kenny. Mereka sangat miskin. Ibunya berjuang untuk menghidupi kedua
anaknya. Mereka adalah keluarga yang baik dan utuh, tetapi ibu Kenny
adalah seorang yang angkuh dan memiliki peraturan-peraturan tegas
yang tidak bisa diganggu gugat. Yang kami lakukan setiap tahun
adalah mempersiapkan Natal sehingga menjadi pesta yang menyenangkan
dengan membuat kado-kado Natal dan menghias seisi rumah kami.
Adakalanya, Marty dan Kenny harus duduk berjam-jam untuk membantu
membuat contong permen atau hiasan untuk pohon Natal. Tetapi, dengan
satu bisikan dari Marty atau Kenny, mereka berdua bisa tiba-tiba
menghilang, merunduk perlahan di bawah pagar listrik menuju padang
rumput yang memisahkan rumah kami dengan rumah Kenny.

Pada suatu malam, beberapa hari sebelum Natal, ketika tangan saya
penuh dengan adonan "peppernodder", membentuk kue-kue Danish yang
ditaburi kayu manis dalam jumlah banyak, Marty datang kepada saya
dan berbicara dengan nada bangga, "Ibu, aku telah membelikan hadiah
untuk Kenny. Ibu mau lihat?" Jadi ternyata hal ini yang selama ini
ia persiapkan. "Kompas ini adalah benda yang sudah lama ia dambakan,
Bu." Setelah secara perlahan mengelap tangannya, Marty mengeluarkan
sebuah kotak kecil dari sakunya dan membuka tutup kotak tersebut.
Saya terpana pada kompas saku yang telah dibeli anak saya
menggunakan semua tabungan dari uang sakunya. "Ini adalah hadiah
yang sangat indah, Marty," ucap saya. Tapi saat saya berbicara,
sebuah pikiran datang mengganggu. Saya tahu bagaimana perasaan ibu
Kenny tentang kekurangan mereka. Mereka tidak mampu bertukar hadiah
antaranggota keluarga, apalagi memberikan hadiah kepada orang lain.
Saya yakin ibu Kenny tidak akan membiarkan anaknya menerima sesuatu
yang tidak dapat ia balas. Secara perlahan saya mengutarakan masalah
tersebut kepada Marty. Ia mengerti maksud saya. "Aku tahu, Bu, aku
tahu ... tapi, bagaimana jika ini menjadi sebuah rahasia? Bagaimana
jika mereka tidak pernah tahu siapa yang memberikan hadiah ini?"
Saya tidak tahu harus menjawab apa.

Sehari sebelum Natal turun hujan, cuaca menjadi dingin dan mendung.
Saya dan ketiga anak saya saling mengawasi; sibuk memberi sentuhan
akhir sembari menyembunyikan kado-kado rahasia dan bersiap-siap jika
ada keluarga atau teman yang datang berkunjung. Malam pun tiba.
Hujan masih tetap turun. Saya memandang keluar dengan perasaan
sedih. Hujan benar-benar mengguyur malam Natal. Bagaimana para orang
bijak bisa datang pada malam seperti ini? Saya meragukannya.
Sepertinya saya beranggapan bahwa hal-hal yang aneh dan menyenangkan
hanya terjadi pada malam yang cerah dan terang, ketika kita dapat
memandang bintang-bintang yang bertaburan di angkasa. Saya pun
menyingkir dari jendela. Dan, saat memeriksa daging dan roti yang
sedang dihangatkan di oven, saya melihat Marty keluar. Ia mengenakan
jas hujan yang menutupi piyamanya, dan ia membawa sebuah kotak yang
telah dibungkus dengan indah. Ia berjalan melalui rumput yang basah,
merunduk di bawah pagar listrik, dan berjalan terus menuju rumah
Kenny. Ia berjalan berjinjit karena sepatunya basah. Ia meletakkan
hadiah yang telah ia siapkan di depan pintu rumah Kenny, kemudian ia
mengambil napas yang dalam dan memencet bel dengan keras.

Dengan cepat, Marty berbalik dan berlari agar tidak ketahuan. Lalu,
tiba-tiba, ia menabrak pagar listrik. Kejutan listrik membuatnya
terhuyung-huyung. Ia terjerembab di tanah yang basah. Tubuhnya
bergetar dan ia pun terengah-engah mengambil napas. Kemudian,
perlahan-lahan, ia berusaha berjalan kembali ke rumah. "Marty!",
saya menangis saat melihatnya masuk. "Apa yang terjadi?" Bibir
bawahnya bergetar, matanya basah. "Aku lupa kalau ada pagar. Aku
menabraknya!" Saya memeluk tubuhnya yang penuh lumpur. Ia masih
linglung dan ada tanda luka berwarna merah yang mulai melepuh di
wajahnya, dari mulut sampai telinga. Saya langsung merawat wajah
Marty dan memberikan segelas cokelat hangat untuk menenangkannya.
Semangat Marty langsung kembali. Saya pun menemaninya tidur. Tepat
sebelum tertidur, ia memandang saya sambil berkata, "Ibu, Kenny
tidak melihatku. Aku yakin ia tidak melihatku."

Pada malam Natal itu, saya tidur dengan perasaan tidak senang dan
bingung. Mengapa hal yang menyedihkan seperti ini justru terjadi
pada seorang anak yang sedang melakukan apa yang Tuhan ingin kita
semua lakukan, memberi kepada orang lain, dan merahasiakan perbuatan
tersebut. Saya tidak dapat tidur pulas malam itu. Dari dalam lubuk
hati yang terdalam, saya merasa kecewa karena di malam Natal tidak
terjadi sesuatu yang indah dan misterius, ini hanyalah salah satu
malam biasa yang penuh dengan masalah. Tetapi ternyata saya salah.
Pada pagi hari ketika hujan berhenti dan matahari bersinar dengan
cerahnya. Memar di wajah Marty masih berwarna merah, tetapi saya
dapat melihat bahwa lukanya tidak serius. Kami pun membuka kado-kado
dan bersukaria, sampai tiba-tiba Kenny mengetuk pintu, dengan mata
berbinar-binar ia memperlihatkan kompas barunya kepada Marty dan
menceritakan kejutan misterius yang ia alami tadi malam. Kenny sama
sekali tidak curiga kepada Marty, dan saat keduanya
berbincang-bincang, Marty terus tersenyum.

Kemudian saya memerhatikan bahwa saat keduanya saling membandingkan
pengalaman Natal yang mereka alami, menganggukkan kepala, dan saling
berbincang-bincang, Marty tidak memiringkan kepalanya saat Kenny
berbicara. Seakan-akan Marty mampu mendengar menggunakan telinga
tulinya. Beberapa minggu kemudian, saya menerima laporan dari dokter
sekolah, memastikan sesuatu yang Marty dan saya sudah tahu:
Pendengaran Marty telah pulih dan bisa mendengar dari kedua
telinganya! Bagaimana Marty memperoleh pendengarannya kembali, masih
merupakan misteri. Para dokter curiga bahwa ini ada hubungannya
dengan kejutan listrik dari pagar yang ia tabrak. Mungkin benar
demikian. Apa pun alasannya, saya bersyukur kepada Tuhan atas timbal
balik yang terjadi pada malam Natal tersebut. Jadi, Anda dapat
melihat bahwa hal-hal yang aneh dan indah masih terjadi pada malam
Natal. Dan, setiap orang masih dapat mengikuti sebuah
bintang besar, sekalipun pada malam yang gelap.

matius 7:11, "Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya."

Senin, 03 Mei 2010

Selembar Kertas Putih

Deni adalah anak yang suka mencari-cari kesalahan. Dengan cepat, ia bisa menunjukkan kesalahan temen-temannya, juga Vina, pacarnya. Bahkan kalau ada sesuatu yang terjadi pada dirinya, Deni selalu saja menyalahkan orang lain.

"Aku jatuh karena Jacky buang sampah sembarangan", kata Deni waktu ia terjatuh di kamar mandi sekolah. "Nilaiku jelek karena Joe selalu menyontekku." "Aku kemaren terlambat ke sekolah karena Teddy nebeng." Pokoknya semua selalu karena kesalahan orang lain.

Vina adalah orang yang paling sering menjadi sasaran kekesalan Deni. "Gara-gara kamu aku jatuh, gara-gara kamu aku sakit, gara-gara kamu aku ketinggalan buku, gara-gara kamu pulsaku habis, gara-gara kamu.. gara-gara kamu..."

Suatu saat, Deni sedang berjalan-jalan di taman bersama Vina. Matanya tertuju pada sekelompok lebah yang mengerumuni sarangnya. Timbul keisengannya untuk menganggu lebah-lebah itu. Vina sudah melarangnya, tapi ia tidak peduli. Ia pun mengambil sebuah galah dan menyodok sarang lebah itu dengan keras. Ratusan lebah merasa terusik dan menyerang Deni. Melihat binarang kecil yang begitu banyak, Deni lari terbirit-birit. Lebah-lebah itu tidak membiarkan musuhnya pergi begitu saja. Satu.. dua.. tiga.. lebah-lebah itu menghajar dengan sengatan. "Aduh... tolong...!"

Byur!! Deni menceburkan dirinya ke sungai. Tak lama kemudian, lebah-lebah itu pergi meninggalkannya yang sedang kesakitan. "Mengapa Vina tidak menolongku? Jika Vina sayang padaku, pasti sudah berusaha menyelamatkanku. Semua ini salah Vina!"

Ketika sampai di rumah, Deni kembali menyalahkan Vina seperti biasa. Vina diam sejenak, lalu mengambil selembar kertas putih.

"Den, apa yang kamu lihat dari kertas ini?"

"Itu cuma kertas putih, tidak ada gambarnya," jawab Deni. Kemudian Vina mencoret kertas putih dengan sebuah titik berwarna hitam.

"Apa yang kamu lihat dari kertas putih ini?"

"Ada gambar titik hitam di kertas putih itu!"

"Den, kenapa kamu cuma lihat satu titik hitam pada kertas putih ini? Padahal sebagian besar kertas ini berwarna putih. Gampang sekali kamu melihat kesalahanku! Padahal masih banyak hal baik yang telah kulakukan padamu."

Vina berjalan pergi meninggalkan Deni yang duduk termenung. Apa kamu seperti Deni?

Minggu, 02 Mei 2010

Ibuku Hanya Memiliki Satu Mata

Ibuku hanya memiliki satu mata. Aku membencinya sungguh memalukan. Ia menjadi juru masak di sekolah, untuk membiayai keluarga. Suatu hari ketika aku masih SD, ibuku datang. Aku sangat malu. Mengapa ia lakukan ini? Aku memandangnya dengan penuh kebencian dan melarikan. Keesokan harinya di sekolah

"Ibumu hanya punya satu mata?!?!" Ieeeeee, jerit seorang temanku. Aku berharap ibuku lenyap dari muka bumi. Ujarku pada ibu, "Bu. Mengapa Ibu tidak punya satu mata lainnya? Kalau Ibu hanya ingin membuatku ditertawakan, lebih baik Ibu mati saja!!!" Ibuku tidak menyahut.

Aku merasa agak tidak enak, tapi pada saat yang bersamaan, lega rasanya sudah mengungkapkan apa yang ingin sekali kukatakan selama ini. Mungkin karena Ibu tidak menghukumku, tapi aku tak berpikir sama sekali bahwa perasaannya sangat terluka karenaku.

Malam itu..

Aku terbangun dan pergi ke dapur untuk mengambil segelas air. Ibuku sedang menangis, tanpa suara, seakan-akan ia takut aku akan terbangun karenanya.

Saya memandangnya sejenak, dan kemudian berlalu. Akibat perkataanku tadi,
hatiku tertusuk. Walaupun begitu, aku membenci ibuku yang sedang menangis dengan satu matanya. Jadi aku berkata pada diriku sendiri bahwa aku akan tumbuh dewasa dan menjadi orang yang sukses.

Kemudian aku belajar dengan tekun. Kutinggalkan ibuku dan pergi ke Singapura untuk menuntut ilmu.

Lalu aku pun menikah. Aku membeli rumah. Kemudian akupun memiliki anak.

Kini aku hidup dengan bahagia sebagai seorang yang sukses. Aku menyukai tempat tinggalku karena tidak membuatku teringat akan ibuku.

Kebahagian ini bertambah terus dan terus, ketika..

Apa?! Siapa ini?! Itu ibuku. Masih dengan satu matanya. Seakan-akan
langit runtuh menimpaku. Bahkan anak-anakku berlari ketakutan, ngeri
melihat mata Ibuku. Kataku, "Siapa kamu?! Aku tak kenal dirimu!!" Untuk membuatnya lebih dramatis, aku berteriak padanya, "Berani-beraninya kamu datang ke sini dan menakuti anak-anakku! !" "KELUAR DARI SINI! SEKARANG!!"

Ibuku hanya menjawab perlahan, "Oh, maaf. Sepertinya saya salah alamat," dan ia pun berlalu. Untung saja ia tidak mengenaliku. Aku sungguh lega.

Aku tak peduli lagi. Akupun menjadi sangat lega.

Suatu hari, sepucuk surat undangan reuni sekolah tiba di rumahku di Singapura.

Aku berbohong pada istriku bahwa aku ada urusan kantor. Akupun pergi ke sana .. Setelah reuni, aku mampir ke gubuk tua, yang dulu aku sebut rumah.. Hanya ingin tahu saja. Di sana , kutemukan ibuku tergeletak dilantai yang dingin. Namun aku tak meneteskan air mata sedikit pun. Ada selembar kertas di tangannya. Sepucuk surat untukku.

"Anakku..Kurasa hidupku sudah cukup panjang.. Dan..aku tidak akan pergi ke Singapura lagi..

Namun apakah berlebihan jika aku ingin kau menjengukku sesekali? Aku sangat merindukanmu. Dan aku sangat gembira ketika tahu kau akan datang ke reuni itu. Tapi kuputuskan aku tidak pergi ke sekolah. Demi kau.. Dan aku minta maaf karena hanya membuatmu malu dengan satu mataku.

Kau tahu, ketika kau masih sangat kecil, kau mengalami kecelakaan dan kehilangan satu matamu. Sebagai seorang ibu, aku tak tahan melihatmu
tumbuh hanya dengan satu mata. Maka aku berikan mataku untukmu. Aku sangat bangga padamu yang telah melihat seluruh dunia untukku, di
tempatku, dengan mata itu. Aku tak pernah marah atas semua kelakuanmu.

Ketika kau marah padaku.. Aku hanya membatin sendiri, "Itu karena ia mencintaiku" Anakku! Oh, anakku!"

Pesan ini memiliki arti yang mendalam dan disebarkan agar orang ingat
bahwa kebaikan yang mereka nikmati itu adalah karena kebaikan orang lain secara langsung maupun tak langsung. Berhentilah sejenak dan renungi hidup Anda!

Bersyukurlah atas apa yang Anda miliki sekarang dibandingkan apa yang tidak dimiliki oleh jutaan orang lain! Luangkan waktu untuk mendoakan ibu Anda!

Sabtu, 01 Mei 2010

Jadikanlah Hidupmu Seperti Air

Ada dua benda yang bersahabat karib yaitu besi dan air. Besi seringkali berbangga akan dirinya sendiri. Ia sering menyombong kepada sahabatnya : "Lihat ini aku, kuat dan keras. Aku tidak seperti kamu yang lemah dan lunak". Air hanya diam saja mendengar tingkah sahabatnya.

Suatu hari besi menantang air berlomba untuk menembus suatu gua dan mengatasi segala rintangan yang ada di sana . Aturannya : "Barang siapa dapat melewati gua itu dengan selamat tanpa terluka maka ia dinyatakan menang" Besi dan air pun mulai berlomba : Rintangan pertama mereka ialah mereka harus melalui penjaga gua itu yaitu batu-batu yang keras dan tajam. Besi mulai menunjukkan kekuatannya, Ia menabrakkan dirinya ke batu-batuan itu.Tetapi karena kekerasannya batu-batuan itu mulai runtuh menyerangnya dan besipun banyak terluka di sana sini karena melawan batu-batuan itu.

Air melakukan tugasnya ia menetes sedikit demi sedikit untuk melawan bebatuan itu, ia lembut mengikis bebatuan itu sehingga bebatuan lainnya tidak terganggu dan tidak menyadarinya, ia hanya melubangi seperlunya saja untuk lewat tetapi tidak merusak lainnya.

Score air dan besi 1 : 0 untuk rintangan ini. Rintangan kedua mereka ialah mereka harus melalui berbagai celah sempit untuk tiba di dasar gua. Besi merasakan kekuatannya, ia mengubah dirinya menjadi mata bor yang kuat dan ia mulai berputar untuk menembus celah-celah itu. Tetapi celah-celah itu ternyata cukup sulit untuk ditembus, semakin keras ia berputar memang celah itu semakin hancur tetapi iapun juga semakin terluka.

Air dengan santainya merubah dirinya mengikuti bentuk celah-celah itu. Ia mengalir santai dan karena bentuknya yang bisa berubah ia bisa dengan leluasa tanpa terluka mengalir melalui celah-celah itu dan tiba dengan cepat didasar gua. Score air dan besi 2 : 0

Rintangan ketiga ialah mereka harus dapat melewati suatu lembah dan tiba di luar gua besi kesulitan mengatasi rintangan ini, ia tidak tahu harus berbuat apa, akhirnya ia berkata kepada air : "Score kita 2 : 0, aku akan mengakui kehebatanmu jika engkau dapat melalui rintangan terakhir ini !"

Airpun segera menggenang sebenarnya ia pun kesulitan mengatasi rintangan ini,tetapi kemudian ia membiarkan sang matahari membantunya untuk menguap.
Ia terbang dengan ringan menjadi awan, kemudian ia meminta bantuan angin untuk meniupnya kesebarang dan mengembunkannya. Maka air turun sebagai hujan. Air menang telak atas besi dengan score 3 : 0.

Jadikanlah hidupmu seperti air. Ia dapat memperoleh sesuatu dengan kelembutannya tanpa merusak dan mengacaukan karena dengan sedikit demi sedikit ia bergerak tetapi ia dapat menembus bebatuan yang keras. Ingat hati seseorang hanya dapat dibuka dengan kelembutan dan kasih bukan dengan paksaan dan kekerasan.
Kekerasan hanya menimbulkan dendam dan paksaan hanya menimbulkan keinginan untuk membela diri.

Air selalu merubah bentuknya sesuai dengan lingkungannya, ia flexibel dan tidak kaku karena itu ia dapat diterima oleh lingkungannya dan tidak ada yang bertentangan dengan dia. Air tidak putus asa, Ia tetap mengalir meskipun melalui celah terkecil sekalipun. Ia tidak putus asa. Dan sekalipun air mengalami suatu kemustahilan untuk mengatasi masalahnya, padanya masih dikaruniakan kemampuan untuk merubah diri menjadi uap.